Advokat, Menegakan Hukum Sambil Menambang Dolar
Profesi
advokat termasuk salah satu profesi yang paling diidam-idamkan para
sarjana hukum. Mereka tentu tergiur dengan tampilan para pengacara papan
atas yang sering berpakaian high class
dan mobil mewah keluaran terbaru. Di beberapa negara, misalnya di
Amerika Serikat, advokat memang merupakan salah satu profesi yang
berpenghasilan besar ketimbang profesi-profesi yang lain.
Di Indonesia, gaji advokat yang berkantor di kantor hukum papan atas juga tergolong mewah. M. Arie Armand, partner di DNC Lawfirm,
mengatakan para advokat yang berkantor di bilangan Jalan Jenderal
Sudirman, Jakarta Pusat, ini digaji dengan mata uang dolar Amerika
Serikat. Penggajian dilakukan berdasarkan jenjang karier.
Bila ada seorang fresh graduate
yang dinyatakan lulus, maka ia harus menjalani pelatihan selama tiga
bulan. Meski hanya menjalani training, si ‘calon advokat’ tak perlu
khawatir soal kocek. Sebab, DNC memberi uang saku sekitar AS$500 tiap
bulannya. Padahal, dalam masa ini, si ‘calon advokat’ belum benar-benar
bekerja karena hanya diwajibkan mengikuti pelatihan yang diberikan oleh
dosen, praktisi hukum maupun lawyer yang lebih senior.
Selepas masa training, calon advokat harus menjalani on job training selama sembilan bulan. Mereka yang lulus proses tahap ini akan diangkat menjadi junior associate dengan bayaran sekitar AS$800. Dua sampai tiga tahun kemudian statusnya meningkat menjadi associate dengan gaji antara AS$1500-1800.
Setelah lima sampai enam tahun, status advokat akan menjadi senior associate dengan gaji sekitar AS$2000 per bulan. Jenjang terakhir adalah partner
yang tiap bulannya bisa membawa AS$3000-4000. “Tapi soal besaran ini
bisa relatif. Kalau pendapatan sedang besar, maka (gaji) bisa lebih
besar lagi,” ungkap Arie kepada hukumonline, Selasa (7/9).
Soal lingkup kerja, secara umum Arie menjelaskan dunia per-advokat-an dibagi dua. Yakni, litigation lawyer dan corporate lawyer (non-litigasi). Advokat litigasi biasanya yang bersidang di ruang pengadilan, sedangkan corporate lawyer
lebih sering memberi konsultasi dalam lapangan hukum bisnis kepada
perusahaan. “Dari segi profesi sebenarnya tidak ada perbedaan. Karena
keduanya sama-sama memberi legal service,” tuturnya.
Namun, ketika
melihat keahlian yang dibutuhkan, baru terlihat perbedaan antara dua
jenis advokat itu. Advokat litigasi diharapkan sosok yang lebih agresif.
Sedangkan, corporate lawyer harus lebih sistematis atau cenderung by the book. “Dan yang lebih penting lagi seorang corporate lawyer harus punya sense of bussiness,” kata pria yang memperoleh gelar sarjana dari Universitas Padjadjaran ini.
Dalam
praktek, banyak para mahasiswa atau sarjana hukkum kerap berpandangan
bila ingin meraup penghasilan besar maka mereka harus menjadi corporate lawyer. Namun, pandangan ini dibantah oleh Arie. Menurutnya, jika seorang fresh graduate
fakultas hukum langsung berorientasi untuk mendapatkan materi dalam
jumlah besar, maka ia harus terjun ke dunia litigasi. “Bukan sebagai corporate lawyer,” tegasnya.
Pasalnya,
lanjut Arie, advokat bisa langsung mendapat penghasilan besar bila
mendapat perkara litigasi yang kelas kakap. Sedangkan, pilihan menjadi corporate lawyer adalah investasi jangka panjang. “Kalau dari segi pendapatan, corporate lawyer lebih fix. Jika ia sudah punya rekam jejak yang bagus, maka sangat mungkin tarifnya naik berlipat-lipat nantinya,” tambahnya.
Beda kantor hukum papan atas, beda lagi yang masuk kategori lawfirm papan tengah. David ML Tobing, Managing Partner di Adams & Co Counsellors-at-Law,
mengatakan persoalan gaji advokat hampir selalu menjadi masalah di
kantor hukum yang sedang berkembang. Jika ada tawaran yang lebih
menarik, advokat biasanya langsung pindah. “Hambatan kantor pengacara
itu adalah kutu loncat,” ungkapnya.
Namun, David
menyadari pemilik firma hukum memang tak bisa berbuat banyak terhadap
persoalan ini. Karena pindah kerja adalah hak setiap advokat. Ia
mengatakan gaji advokat biasanya berdasarkan range tertentu. Namun, soal angka biasanya kantor hukum cenderung merahasiakan.
Di Adams & Co, lanjut David, penanganan perkara menggunakan prinsip berbagi ilmu. Artinya, perkara dibahas bersama antara partner, senior lawyer, junior lawyer dan paralegal.
Hal ini tentu dimungkinkan karena jumlah advokat di kantor hukum yang
telah berdiri selama 11 tahun ini tidak terlalu banyak. Kantor hukum ini
memiliki 14 orang advokat. Dua diantaranya partner, sedangkan delapan sudah memiliki izin advokat.
David
mengatakan di kantor hukumnya juga memiliki jenjang karier. Dimulai dari
paralegal yang berstatus magang. Jika sudah mendapatkan izin advokat,
mereka bisa menjadi junior lawyer. Namun, tidak ada kriteria baku yang bisa cepat mengantarkan junior menjadi senior lawyer. “Ukurannya ditentukan berdasarkan kualitas yang bersangkutan menangani kasus,” tuturnya.
Senior lawyer biasanya adalah advokat yang
sudah diberikan wewenang untuk meng-handle dokumen, seperti menyusun
gugatan, membuat legal opinion, atau menyusun dokumen-dokumen lain.
Untuk menjadi senior lawyer biasanya seseorang sudah berpengalaman lebih
dari tiga tahun.
Tak semua lawfirm menerapkan
sistem jenjang karier. Di Suhaimi Imran & Partners Law Office, semua
advokat berada dalam posisi yang setara. Sebab, advokat di kantor hukum
ini hanya empat orang. “Kantor hukum kami memang masih kecil, mas,”
ujar Managing Partner, Suhaimi Imran.
Proses penggajian pun tak
diberikan per bulan. “Penggajian diberikan berdasarkan persentase dan
marketing fee,” ujarnya. Persentase dihitung berdasarkan pemasukan yang
diperoleh kantor hukum, lalu membaginya ke para advokat. Sedangkan,
marketing fee adalah biaya yang diberikan kepada advokat yang berhasil
menarik klien untuk kantor hukum tersebut.
Suhaimi mengatakan marketing fee memang jamak dipraktekan oleh kantor-kantor
hukum. “Di kantor kami, marketing fee itu sebesar 20 persen. Sedangkan
di kantor hukum lain, ada yang 10 persen atau 30 persen,” tambahnya.
Categories:
DO YOU KNOW?