Apakah menulis itu gampang? Iya. Apakah menulis itu susah? Iya juga. Tergantung untuk apa, kepada siapa, dan pakai apa kita menulis. Menulis pakai akal sehat, iya. Menulis pakai ‘akal-akalan’, ya silahkan juga. Terserah masing-masing. Bukankah setiap orang menyandang ‘kebebasan berkspresi’ sendiri-sendiri?Tapi menurut Anda menulis itu gampang? Susah? Atau mungkin gampang-gampang susah?
Bahwa asal saja kita buka mata dan telinga kita lebar-lebar untuk menangkap begitu banyak ide yang beterbangan di sana-sini, maka tulisan pun akan tercetus. Tidak sulit. Gampang. Tapi benarkah demikian? Bagaimana setelah tulisan itu jadi? Apa sambutan dunia luar? Ternyata semuanya tergantung. Always depend on.
 
Ketika Anda menyiapkan sebuah tulisan, harus ada kesungguhan di sana. Harus ada usaha dan upaya serius di sana. Menyiapkan diri untuk mulai menulis itu ibarat sebuah bibit yang baru ditanam. Pertama-tama Anda begitu antusias, semangat, dan penuh percaya diri menantikan bibit itu bertumbuh. Anda yakin sekali, kelak setelah bertumbuh ia akan menjadi yang terbaik. The best ever. Anda lantas mulai menyebarkan berita, sebuah kabar gembira menurut Anda, bicara sana-sini bahwa sebentar lagi bibit yang Anda tanam akan menghasilkan. Bibit yang sudah menjelma menjadi tanaman kecil itu Anda rawat dengan hati-hati, penuh perhatian, sambil sesekali di hati Anda muncul rasa penasaran yang amat sangat untuk segera melihat tumbuhan kecil itu bertumbuh menjadi besar.
Akhirnya, waktunya kini sudah tiba. Inilah waktunya Anda memperkenalkan hasil kreasi yang sudah jadi itu. Bibit yang sudah bertumbuh menjadi tanaman kecil, yang kemudian membesar dan siap ditunjukkan, atau dipertontonkan ke dunia sekitar. Hasil karya yang Anda sudah buat, dan hasilkan sebaik mungkin (setidak-tidaknya menurut penilaian Anda sendiri) kini siap disaksikan dunia. Tulisan Anda sudah jadi. Anda begitu bangga karenanya, dan merasa besar. Pantas membusungkan dada. “Apa saya bilang, menulis itu gampang!”. Demikianlah, dengan jumawanya mungkin kita membanggakan diri. Muncul rasa puas berlebihan, walau pada kenyataannya belum apa-apa, belum banyak orang yang membacanya,
Hasil karya (baca: tulisan) yang Anda kira sudah yang paling bagus, sempurna, dan layak mendapat ancungan dua jempol, ternyata kini memasuki dunia ‘nyata’ yang benar-benar nyata. Begini, dunia nyata tulis menulis (dunia kepenulisan) itu ternyata sangat keras . Dunia yang penuh kegilaan, kesintingan, dan kekerasan tersendiri. Tidak pernah lepas dari kritikan, hujatan, celaan, dan bahkan hinaan. Ada yang bermaksud mengkritisi supaya karya kita jadi lebih bagus, tapi ada yang sebaliknya. Menjadi penulis hebat, tidak boleh memiliki telinga yang tipis, hati yang kecil, dan kepala yang besar.
Setiap orang kini melirik karya Anda, dan semua mulai berkomentar memberi penilaian bagaimana caranya untuk menghasilkan, atau membuat sebuah karya dengan bagus. Banyak yang mulai mengajari Anda, secara kentara pun yang tersamar. Anda lantas mulai bingung dan bimbang, apa yang selama ini Anda kira sudah the best dan akan mendapat sambutan penuh rasa cinta oleh dunia sekitar, ternyata tidak demikian kenyataannya. Dunia kepenulisan bahkan penuh dengan ‘teriakan marah’, dan ‘pertumpahan darah’. Salah sedikit - tulisan Anda dihantam, salah banyak - tulisan Anda dihancurkan.
Selanjutnya apa kemudian Anda menyerah? Tentu tidak. Bila menulis, menghasilkan sebuah karya tulis adalah passion Anda, and you love it much, you must be strong. Tuaian kritik adalah pemicu dan pemacu Anda untuk lebih baik lagi. Tidak ada sebuah Tulisan yang sudah sempurna, dan menjadi the best ever, hingga tidak ada lagi yang sanggup dan diperbolehkan untuk mengkritisinya. Ingat bahwa di atas langit masih ada langit. Seseorang yang siap menjadi besar adalah mereka yang berpikiran bahwa menulis itu tidak terlalu mudah, tapi juga tidak terlalu sulit. Semuanya dapat dicapai. Dan, penulis besar adalah mereka yang mau menerima kritikan serta masukan dengan tangan terbuka, pikiran terbuka, dan lapang dada.
Mati Karena Kritikan, Atau Bangkit Karenanya?
Ketika tulisan kita menjadi milik publik, sudah kita lempar ke dunia luas, mustinya kita siap menerima apapun, termasuk kritikan dan komentar sepedas apapun. Let the whole world to critique and tell you what you’re doing wrong. Ada pepatah bijak yang bilang bahwa “You are either the best creator ever or the worst ever.” Tidak pernah ada yang di tengah-tengah. Bagus atau tidak bagus, itu saja. Keduanya depending on whose opinion you are listening to. Tergantung opini siapa yang Anda dengarkan. Meskipun kita tidak pernah minta siapapun mengkritisi hasil karya kita, percayalah akan selalu ada penilaian atas setiap hasil karya tersebut. Ada opini-opini yang muncul tentang karya kita, termasuk bila kita sudah menerbitkan sebuah buku. Kapanpun dan di manapun. Dalam konteks ini, maka komentar sekecil apapun adalah masukan terhadap hasil karya kita (sebagus apapun kita yakini hasil karya kita itu).
Ada yang mungkin langsung down bila tulisannya mendapat hantaman dan kritikan sangat keras. Lalu muncul keengganan dalam diri yang bersangkutan untuk melahirkan tulisan-tulisan yang lain. Ada yang berpikir seperti ini, pekerjaan menulis sudah menyita banyak waktu, daya dan upaya sudah banyak keluar, tapi toh sedikit saja apresiasi, dan kurang mendapat penghargaan. Pada kondisi seperti ini, ya jangan paksa diri Anda. Coba untuk ambil waktu berdiam diri barang sejenak. Istirahatlah…
Akan tetapi, tak disangka tak dinyana keinginan untuk menulis kembali menyeruak muncul. Nah, berarti passion dan jiwa menulis sudah melekat dalam diri Anda. Ia hanya beristirahan sementara, bukan mati selamanya. Kali ini bibit yang Anda tanam itu mungkin saja sudah dengan cara yang lain dan melalui stamina baru. Berdasarkan kritikan, masukan, dan hasil observasi Anda di dunia kepenulisan yang ternyata sangat ‘gila’ itu, kini Anda sudah tahu lebih banyak, lebih baik, dan lebih siap. Bibit baru pun ditanam kembali. Anda memulai proses menulis itu dari awal lagi. Tapi percayalah hasilnya akan lebih baik dari yang sebelumnya. Menulis memang tidak gampang, tapi juga tidak sesulit yang kita bayangkan jauh sebelumnya…
Sekarang ada pertanyaan sederhana, apakah Anda ingin jadi seorang penulis? If you feel you must write, then write you must. Pokonya kalau Anda bisa menulis dari mata turun ke hati dan naik ke otak. Kalau Anda dapat menulis dari telinga turun ke hati dan naik ke otak. Jangan tunggu lebih lama lagi, segera mainkan jemari tanganmu ikuti panggilan jiwamu untuk menulis. Anda ingin menjadi penulis sungguhan yang menulis dengan sungguh-sungguh? Atau justru sungguh-sungguh berniat menjadi bukan penulis sungguhan? Semua jawaban ada di tangan Anda.
Sebelum masuk lebih jauh, dan melibatkan diri dengan amat sangat dalam dunia tulis-menulis, simaklah apa kata para penulis besar berikut ini.
Rick Watson, penulis Remembering Big, Life 101 dan kolumnis di Alabama newspaper pernah bilang seperti ini, sangat sedikit orang yang sudah menjadi kaya raya karena menulis. Dan bila motivasi Anda menulis adalah supaya jadi sama seperti mereka, maka lebih baik Anda beli lotre atau nomor togel saja. Jika Anda sangat menyukai bercerita tentang sebuah cerita, dan Anda bisa mendapatkan kepuasan lewat tulisan, maka jadilah penulis.
Lain lagi yang dikatakan oleh Meryl Davids Landau, penulis Downward Dog, Upward Fog, serta kolumnis di The Huffington Post. Ia mengatakan, jangan pernah khawatir bila pikiran kita tiba-tiba ‘blank’ dan nggak tau mau nulis apa (writer’s block). Jangan paksain diri. Simpan dulu semuanya dalam pikiranmu, dan lakukan hal-hal lain. Lakukan aktivitas lain. Alam bawa sadar Anda akan menyimpannya, dan dalam waktu yang tak terlalu lama, ia akan memantulkan dan memunculkan kembali ide-idemu yang tersimpan secara lebih baik itu. Nah, saat itu menulislah kembali.
Apakah sudah cukup? Tentu saja. Setelah jemari tangan saya menjadi cukup pegal, kini giliran Anda menulis dan saya yang akan membacanya. Selamat menulis saudara-saudaraku sekalian. Ingat betul, menulis tidak gampang, tapi juga tidak sesulit yang kita bayangkan. Di mana hatimu berada, di situ penamu berada. –Michael Sendow—

Categories:

Leave a Reply